Selasa, 01 Oktober 2019

Sabuk Hitam Tapi Tak Bisa Berkelahi


Alasan terbesar orang tertarik belajar bela diri pada umumnya adalah agar bisa mempertahankan diri saat terjadi serangan fisik. Namun tidak sedikit yang pesimis berpendapat belajar bela diri di jaman sekarang sesungguhnya tidak lebih dari olah raga aerobik yang dibungkus dalam bentuk combat. Pesimis menjadi sinis setelah menyaksikan beberapa pertandingan bela diri (terlepas apa alirannya) yang terlihat sangat tidak realistis dengan segudang peraturan.
Percaya diri mampu mengatasi ancaman fisik setelah mencapai sabuk hitam, mendapat piala dari berbagai kejuaraan tidak hanya menggelikan bahkan berbahaya karena teknik-teknik yang digunakan dalam pertandingan dan dojang / dojo tidak efektif menghadapi serangan di jalanan.
Fenomena ini mirip dengan murid yang selalu juara kelas, lulus dari universitas ternama dengan IPK tinggi tapi kesulitan mencetak prestasi di tempat kerja karena tidak tahu cara menghadapi politik kantor, bekerja sama dengan rekan kerja secara efektif, jeli melihat peluang karir dan keahlian-keahlian praktis lainnya yang tidak diajarkan di kelas. Kita menamai fenomena ini School Smart Vs Street Smart.

Mirip halnya dalam dunia bela diri, ada istilah Scoring Punch Vs Knockout Punch (meninju untuk mendapat nilai  dari juri vs meninju untuk merobohkan lawan/menetralisir ancaman). Belajar bela diri sebagai murni olah raga sah-sah saja. Memenangkan piala kejuaraan membawa prestise bagi perguruan dan ajang promosi aliran bela diri yang ditekuni. Tapi ingat hakikat bela diri adalah untuk mempertahankan diri.
Jago di arena tidak otomatis pasti jago di jalanan. Instruktur dan murid-murid senior mengawasi jalannya latihan di dojang. Dalam pertandingan peran ini diwakili oleh wasit untuk memastikan jalannya pertandingan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kontestan pun dibagi berdasarkan berat badan, jenis kelamin dan warna sabuk agar lebih adil seimbang.
Saya rasa peraturan-peraturan pertandingan bela diri yang paling banyak menuai kritik dari mereka yang serius belajar bela diri untuk mempertahankan diri.

Pernahkah Anda bertanya, diantara sekian banyak aliran mengapa hanya Judo dan Taekwondo (versi WTF), sekarang ditambah Karate yang masuk Olimpiade? Kata Tae kwon do secara harafiah berarti ‘seni tangan dan kaki’ tapi serangan tangan (tidak ke kepala tentunya) nyaris tidak terlihat dalam pertandingan, malah sering kali terkesan dibiarkan terluntai disamping badan.  Pelindung yang dikenakan kontestan pun super lengkap dari kepala, gigi hingga tulang kering. Karena komite Olimpiade tidak ingin ajang olah raga sejagat tercoreng ‘darah’ bak arena gladiator.
Dalam latihan persiapan petandingan, kontestan juga belajar ‘teknik tipu’ untuk membuka peluang serangan dan mencetak angka dalam kerangka peraturan pertandingan yang berlaku. Juri menentukan siapa menang atau kalah. Lokasi dan durasi pertarungan juga sudah disetting. Sebelum pertandingan dimulai, lawan saling berhadapan membungkukkan badan.  Bahkan kontes MMA dan UFC yang konon merupakan puncak dari perhelatan bela diri saja masih ada aturan-aturan yang mengekang.
Seluruh aturan diatas hanya punya satu tujuan: menciptakan lingkungan belajar/tempat praktek yang aman. Ketika masih kuliah, saya belajar keras menjelang ujian agar pada saat ujian materi pelajaran tinggal mengalir dengan lancar. Tapi dalam belajar bela diri, kenapa kita malah belajar dengan cara ‘aman’ untuk menghadapi ancaman kekerasan fisik yang tidak mengenal aturan.

Jadi benarkah belajar bela diri hanya buang-buang waktu saja?
Saya berani bilang tidak. Unsur belajar murni untuk mempertahankan diri seperti serangan ke tenggorokan tetap ada dalam hampir seluruh sekolah bela diri meskipun proporsinya berbeda tergantung kurikulum sekolah yang bersangkutan (tournament oriented Vs Self Defence) setidaknya menurut pengamatan pribadi saya yang juga mempelajari beberpa jenis beladiri yang berbeda-beda.
Buktinya seorang mahasiswi asal Semarang Alfin Nikmatul Maula, dua kali berhasil meloloskan diri dari usaha penculikan berkat mahir bela diri pencak silat (sumber: kompas.com).
Hal sama juga terjadi di Chicago dimana Anthony Miranda (24) menjadi korban babak belur akibat salah memilih ‘korban’ perampokan seorang petarung UFC berusia 33 tahun. Tidak hanya babak belur, Anthony juga menderita luka tembak dari pistolnya sendiri (sumber: nydailynews.com).

Ijazah dari universitas ternaman tidak menjamin kesuksesan seseorang di masa depan. Bela diri tidak menjamin Anda pasti selamat bila ada ancaman fisik, semuanya kembali pada kesungguhan yang belajar. Bila Anda ingin belajar bela diri untuk mempertahankan diri tapi perguruan yang sekarang lebih tertarik mengoleksi tropi pertandingan, segera pindah. Kalau ada teknik, kurikulum yang Anda rasa tidak praktis, bertanyalah pada instruktur bagaimana mengaplikasikan teknik yang Anda pelajari sekarang dalam street fight.
Tugas murid tidak hanya menyerap pelajaran dari instruktur mentah-mentah tapi juga proaktif menarik benang merah aplikasi antara berkelahi secara nyata  dengan pertarungan terkontrol ala dojang / dojo.
Dan di Demos Martial Arts School, dengan 3 kurikulum beladiri yang berasal dari Korea, yaitu Hapkido, Kumdo dan Taekwondo, meski ketiganya adalah seni beladiri Tradisional, tetap diajarkan aplikasi dari gerakan-gerakan yang ada dalam kurikulum latihan beladiri resmi untuk digunakan dalam perkelahian di jalanan. Ini sangat penting agar siswa yang belajar di dojang kami paham bagaimana membeladiri dalam situasi yang sulit. Bahkan komposisi teknik pertandingan dalam dojang Demos Martial Arts School hanya sekitar 40 persen dari keseluruhan teknik yang diajarkan.
Info lengkap pendaftaran kelas reguler, kelas privat dan atau seminar beladiri praktis, silakan hubungi whatsapp 0813 1049 9051
Akhir kata, selamat belajar bela diri apapun aliran Anda!
(disadur dari tulisan Hendra Makgawinata)

0 komentar:

Posting Komentar