Minggu, 31 Desember 2017

Catatan Akhir Tahun Praktisi Taekwondo


Bismillah ar-rohmaan ar-rohiiem

2017 sudah berganti dengan 2018, beberapa jam yang lalu. Tak terasa perjalanan hidup menjadi praktisi beladiri (kesannya kok seperti pendekar jaman old ya? Hahaha) sudah mencapai 22 tahun. Usia perjalanan yang bukan lagi muda, tapi sewajarnya semakin matang.
Baiklah kita cukupkan kenarsisan saya. Yang ingin saya bahas kali ini adalah betapa pesat dan cepat kemajuan yang dialami oleh beladiri yang kita cintai ini, Taekwondo. Dan di dunia, wajah Taekwondo diwakili oleh dua organisasi besar yaitu WT (World Taekwondo) dan Kukkiwon.
Tak dapat kita pungkiri, kinerja dua organisasi ini dalam mempromosikan Taekwondo ke seluruh dunia sangatlah mencengangkan dan sangat terasa efeknya bagi para praktisinya di berbagai belahan dunia. Dengan bangga saya berani sebut, Taekwondo adalah beladiri yang paling populer, buktinya silakan lihat di Indonesia, sekolah mana di kota besar atau desa terpencil yang tak ada Taekwondonya?

Tapi, apakah kinerja baik ini tak layak dikritisi? Bagi saya pasti selalu ada celah untuk dikritisi. Apa sajakah itu?

Pertama, karena sangat ingin tetap ada di olimpiade, dalam 3 - 4 tahun belakangan ini lihatlah perubahan yang terjadi pada pertandingan Kyorugi. Kini, kyorugi bukanlah tentang tendang menendang tetapi lebih mirip main anggar dengan kaki.
 
Karena ingin disebut modern dan mengedepankan rasa keadilan dalam penilaian, maka semua poin, semua aspek dalam pertandingan kyorugi kini sangat elektronik. 

Sangat digital. Padahal, human error adalah bagian dari sebuah pertandingan, seni dalam filosofi beladiri itu sendiri, adalah bagaimana mengakui bahwa manusia "memang error".

Lihatlah bagaimana para atlet jaman now bertanding dan menendang dalam kyorugi. Pasti sepakat sangat berbeda 180 derajat dibanding generasi  atlet 10 tahun sebelumya.

Taekwondo yang eksplosif dan powerful kini telah hilang diganti dengan trik, bukan teknik, tapi trik untuk mencetak skor sebanyak mungkin. Lalu, jika tujuan menendang adalah untuk mencetak skor, apa bedanya Taekwondo dengan Futsal? Apa bedanya Taekwondo dengan Sepak Bola? Singkatnya, kyorugi sudah "rusak" Ingat, rusak dalam tanda kutip, jangan sensi bacanya.

Kedua, demi popularitas lihatlah Asian Beach Games. Dimana pertandingan Taekwondo diadakan dengan atlet-atlet yang tidak memakai dobok lengkap, yang tersisa hanya sabuknya saja. Lalu, dimana nilai-nilai filosofi Taekwondo diletakkan, jika dalam pertandingannya, dobok pun dilepas? Tapi berhasilkah Beach Games menaikkan popularitas Taekwondo di mata dunia? Berhasil lah!
Lain kasus kita lihat kejuaraan dunia Taekwondo dimana celana doboknya warna-warni, disesuaikan dengan bendera masing-masing negara. Lalu dimana filosofi dobok tradisional taekwondo diletakkan? Silakan beropini, silakan berbeda pendapat.

Ketiga, ini yang sedikit banyak saya pahami. Hadirnya 10 Poomsae baru. 
"Poomsae baru?" 
Apa? 
"Iya, baru.!" 
Saya ingat ketika beberapa tahun ke belakang ketika grand Master Kang Ik Pil, juara dunia poomsae pertama kali yaitu tahun 2006, mendemonstrasikan poomsae yang dinamakan Hanryu, ditahun 2008. Dimana gerakannya sangat teratur dan tak jauh beda dengan poomsae-poomsae standar yang wajib dikuasai dalam kurikulum pengajaran Taekwondo.

Tetapi kemudian poomsae ini, Hanryu, tenggelam dan tak terdengar lagi dipromosikan. Hingga dua tahun terakhir keluarlah 10 poomsae baru yang 180 derajat berbeda dengan poomsae Hanryu dari segi gerakan dan maupun penyampaian.

Saya bukan anti pembaharuan, tetapi saya mendapat kesan, sepertinya kok terkesan serampangan. Karena selalu alasan yang saya dengar di balik munculnya berbagai aturan baru, dibalik munculnya poomsae-poomsae baru yaitu "demi kemajuan" atau "demi kebaikan" perkembangan Taekwondo kedepannya. Pertanyaannya apakah Taekwondo sudah sedemikian "tak maju" hingga harus berjuang sedemikian ekstrim-nya demi kemajuan?
Karena bukankah beladiri berasal dari tradisi-tradisi kuno ribuan tahun lalu yang dikelola oleh manusia hingga saat ini dengan tetap mengedepankan nilai-nilai luhur kemanusiaan tanpa meninggalkan kebijakan-kebijakan "kuno" para pendahulunya?

Sisi lain yang saya kritisi dari 10 poomsae baru adalah, sifat gerakan dari poomsae-poonsae tersebut. Tendangannya sudah bukan tendangan khas poomsae lagi, tetapi tendangan kyorugi.
Lalu kerumitannya dengan menambahkan berbagai macam tendangan akrobatik di dalamnya. Tendangan 540 lah, 360 lah, dan lain sebagainya. Kemudian dimasukkannya step dan gerakan pertandingan kyorugi di dalamnya. Lalu, yang kita pelajari ini sebenarnya apa, Poomsae kah, Kyorugi kah?
Bagaimana dengan praktisi yang berbadan gemuk, mampukah mereka melakukan gerakan-gerakan seperti demikian? Dimana slogan "Taekwondo for all" jika gerakannya saja sudah tak ramah pada praktisinya yang berbadan besar.

Jadi ingat kyorugi, sekarang ini atlet  kyorugi didominasi atlet berbadan tinggi, tidak seperti dulu, bahkan atlet berbadan biasa-biasa saja pun punya kesempatan menang yang sama karena sistem penilaiannya yang memang mengedepankan teknik dan power.
Inti dari tulisan saya adalah "mau dibawa kemana Taekwondo kita" Jika setiap tahun aturan berubah, setiap waktu poomsaenya ditambah, setiap pertandingan sistemnya berubah.?
 
Saya adalah pecinta Taekwondo, tapi cinta tak boleh membuat saya jumud, tak kritis dan manut saja toh? Ingat, kelebihan Taekwondo adalah "simpel". Apa boleh saya sebut kekurangan Taekwondo juga adalah "simpel"?

Kamsahamnida. Boleh tidak setuju dengan pendapat saya.

1 komentar:

  1. Bagi anda yang hobby bermain judi online seperti :
    Bandar Ceme, Ceme Keliling, Capsa Susun, Domino, Bandar Poker dan Live Poker.
    Mari segera bergabung bersama kami di www,s1288poker,com
    Kami agen penyediaan jasa judi online terbaik dan terpercaya.
    (WA : 08122221680)

    BalasHapus